alghuroba

alghuroba

Senin, 16 Juni 2014

Riwayat Singkat Imam Bukhori



IMAM AL BUKHORI
Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari

Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Disela-sela kesibukannya sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

Pelajaran dari salah satu kisah hidupnya

Pengantar Sebelum Menyimak Kisah Beliau

al-Qur’an adalah kalam/ucapan Allah. Ini sudah jelas. Akan tetapi, bolehkah kita katakan bahwa pelafalan al-Qur’an itu makhluk, atau bukan makhluk, atau harus diam dalam persoalan ini?!
Jawaban yang lebih tepat, memberikan hukum umum dalam permasalahan ini, yaitu dengan serta merta menolak atau menerima pernyataan ‘pelafalan al-Qur’an adalah makhluk’ adalah tidak tepat. Sebab hal ini harus dirinci terlebih dahulu. Jika yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah perbuatan (fi’il) mengucapkannya yang hal itu termasuk perbuatan hamba maka jelas ini adalah makhluk. Karena hamba beserta perbuatannya adalah makhluk. Namun, apabila yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah ucapan yang dilafalkan (maf’ul) maka itu adalah kalam/ucapan Allah dan bukan makhluk. Karena kalam Allah merupakan salah satu sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya bukan makhluk.
Perincian semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan,“Barangsiapa yang berpendapat bahwa lafalku dalam membaca al-Qur’an adalah makhluk dan yang dia maksud dengannya adalah al-Qur’an maka dia adalah penganut paham Jahmiyah.”Perkataan Imam Ahmad ‘dan yang dia maksud adalah al-Qur’an’ menunjukkan bahwa apabila yang dia maksudkan bukanlah al-Qur’an akan tetapi perbuatan melafalkan yang ini merupakan perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya tidak bisa dicap sebagai penganut paham Jahmiyah.
(Diambil dari Fathu Rabbil Bariyyah hal. 70 cet. Dar Ibnul Jauzi).

Fitnah Yang Menimpa Sang Imam
Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.” Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul ‘masalah’ di majelis Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.
Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua. Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah, pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi’ah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”
Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh  Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an; apakah ia makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab,“al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau begitu al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin.
Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata, “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi’/ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar  meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan,“Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas imamah/penutup kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan, “Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.”
Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata,“Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab,“Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan hamba adalah makhluk.”
(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)
Abdullah anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku rahimahullah. Aku berkata, “Apa pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah makhluk dan lafal kita dengan al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang seperti ini? Apakah dia layak disebut sebagai ahli bid’ah?”. Beliau menjawab, “Orang semacam ini semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid’ah. Dan itu merupakan perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 178). Abdullah juga mengatakan, “Aku mendengar ayahku rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa lafalku dengan al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 180)
Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh wa Ta’dilAbdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata, “Ayahku -Abu Hatim- dan Abu Zur’ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur’an adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa at-Ta’dil VII/191).
Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’. Beliau berkata, “Apabila mereka berdua meninggalkan haditsnya, ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru dunia.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633 risalah magister karya Abu Abdirrahman Muhammad ats-Tsani)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jarh/celaan dari sebagian ulama yang ditujukan kepada Imam Bukhari tidak bisa diterima. Imam Ahmad  rahimahullah berkata, “Setiap orang yang telah terbukti kuat keadilan/kredibilitasnya maka tidak boleh diterima tajrih/celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan yang lain kecuali memang harus menjatuhkan jarh/celaan kepadanya.” (lihatDhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)

Pelajaran Yang Bisa Dipetik

Kisah di atas mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum muslimin, terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da’i. Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk mempelajari aqidah Islam dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kesesatan. Karena aqidah inilah yang menjadi landasan agama kita. Hendaknya setiap muslim memahami hakikat keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah Islam.   Jangan sampai seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da’i- meremehkan masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting dan mendasar.
Selain itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang yang berusaha untuk senantiasa mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha manusia. Orang arab mengatakan, “Ridha manusia adalah cita-cita yang tak akan pernah tercapai.” Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa ikhlas itu adalah melupakan pandangan manusia dengan senantiasa melihat kepada penilaian al-Khaliq, yaitu Allah.
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima tidak benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun penguasa. Kewajiban kita sebagai sesama muslim adalah menjaga kehormatan dan harga diri saudara kita, apalagi mereka adalah orang yang memiliki kedudukan dan keutamaan di mata publik.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da’i dan tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak pada tempatnya.
Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara sesama guru atau da’i itu timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Oleh sebab itu seorang guru harus objektif dan berhati-hati dalam menerima berita dari muridnya. Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh sembarangan dalam menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap ungkapan yang diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi fitnah (kekacauan), hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu belajar dan tidak disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan pembicaraan yang kurang bermanfaat baginya.
Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa ta’dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara sepele. Jarh wa ta’dil tidak seperti kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga murah oleh siapa saja. Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat mulia. Ilmu yang membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kehati-hatian. Tidak semua orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama ahli dan mapan di bidang ini. Jarh wa ta’dil juga memiliki kaidah dan batasan-batasan yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari kemungkaran adalah suatu kebaikan yang sangat besar. Akan tetapi mengingkari kemungkaran pun ada kaidahnya, tidak boleh secara serampangan.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da’i untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena banyak permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya adalah karena sifat yang tercela ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan yang populer di kalangan para ulama Jarh wa Ta’dil : Kalamul aqraan yuthwa wa laa yurwa, artinya:“Kritikan antara orang-orang yang sejajar kedudukannya cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak diriwayatkan.” Karena terkadang kritikan yang muncul diantara sesama mereka adalah karena faktor hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian itu.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap husnuzhan/berprasangka baik kepada saudara kita. Karena perasaan su’uzhan/buruk sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat adalah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat, akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu tidak kecil dan tidak sedikit. Allahul musta’aan.
Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da’i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan dakwahnya. Seorang da’i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang penimba ilmu. Bahkan, setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dari Allah yang menuntut mereka untuk bersabar tatkala mendapatkan musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Mereka menyadari bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah mendakwahkan ilmu dan membimbing umat menuju kebaikan. Mereka sama sekali tidak menyimpan ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target duniawi. Ulama sejati tidak takut celaan para pencela dan tidak khawatir apabila ditinggalkan jama’ah, selama dia tegak di atas kebenaran.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya kebid’ahan; yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam agama Islam. Bid’ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi ia juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara keyakinan yang bid’ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi orang yang meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat keras dalam mengingkari para pelaku kebid’ahan. Sebagian diantara mereka mengatakan, “Bid’ah itu lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid’ah hampir tidak mungkin pelakunya bertaubat.” Sebab pelaku kebid’ahan menganggap dirinya tidak melakukan kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih mengakui bahwa dirinya memang telah berbuat maksiat.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam pandangan kita. Sesungguhnya kebenaran itu diukur dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau ‘allan. Sebagian ulama salaf berpesan,“Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran. Janganlah kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya orang yang binasa.”
Dan yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya. Ulama adalah pewaris para nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa ulama bukanlah nabi yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah- maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan  bersangka baik dan tetap menghargai jerih payah mereka. Imam Syafi’i rahimahullahberpesan kepada para pengikutnya, “Apabila kamu temukan di dalam bukuku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah/tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku.”
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel
Muslim.Or.Id

Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.