IMAM AL BUKHORI
Kelahiran dan
Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga
Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama
Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H
(21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama
Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan
Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan
keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena
buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut).
Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah,
dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara
total.
Imam Bukhari adalah
ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini
bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu
Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki
derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil
Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir
semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir
kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan
ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula
yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina.
Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan
lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah
jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen
dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New
York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah
yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia,
Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru
Imam Bukhari
Bukhari dididik
dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban
menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati
terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih
terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab
Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih.
Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada
ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga
dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti
“al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli
hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia
mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau
mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau
menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien”
(Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya
Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana
dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi
menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu
hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin
Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin
Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang
haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam
Bukhari
Bukhari diakui
memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak
sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya
mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya,
Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu
karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena
merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa
catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah
disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka
semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap
dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada
di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin
menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut
mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji
hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang
kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi
kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh
hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan
penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang
sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam
waktu satu kali dengar.
Selain terkenal
sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan
lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga
dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah
kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang
mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan
alat-alat perang lainnya.
Karya-karya Imam
Bukhari
Karyanya yang
pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum
di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18
tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah
beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah
berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di
waktu malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari
lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At
Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir,
Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain,
Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya
tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih
dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat
diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw.,
seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan
untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir,
ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari
hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk
melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun
hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan
kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan
hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta
memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari
senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya,
menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya
merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin
dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000
hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli
hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim
Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab
Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam
Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah,
para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang
mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh
dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli
(guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan
Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut
menyambutnya.”
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan
dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk
mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan
menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain
Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat.
Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad
bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari
merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua
hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi
dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari
hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu
terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari
menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih
yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan
menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat
sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus
namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata,
“perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari
hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan
“Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan
kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan
oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan
jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku
perlu dipertimbangkan”.
Banyak para ulama
atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap
mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap
mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali
mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh
seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya
telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat
kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali
saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Disela-sela
kesibukannya sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan
ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif
seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam
Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Metode Imam
Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim
yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang
produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga
ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu
menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil
(ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu,
sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya
terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi),
tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang
menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu
Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan
kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul
Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih
Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari
bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw.
berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli
mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis
habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw.
Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami
‘as-Shahih”.
Dalam menyusun kitab
tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang
muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’
as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah
hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan
kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”.
Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara
sistematis.
Setelah itu ia
menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah
tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah
setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab
yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut
dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara
ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan
bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi
sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang
diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya,
memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling
shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi
batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah
hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari,
para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam
Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak
akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan
merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah,
dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu
ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat
secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh
Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar
Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah
atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang
dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara
berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu
dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun
jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah.
Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab
Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Pelajaran dari salah satu kisah hidupnya
Pengantar Sebelum Menyimak Kisah
Beliau
al-Qur’an adalah kalam/ucapan Allah. Ini sudah jelas.
Akan tetapi, bolehkah kita katakan bahwa pelafalan al-Qur’an itu makhluk, atau
bukan makhluk, atau harus diam dalam persoalan ini?!
Jawaban yang lebih tepat, memberikan hukum umum dalam
permasalahan ini, yaitu dengan serta merta menolak atau menerima pernyataan
‘pelafalan al-Qur’an adalah makhluk’ adalah tidak tepat. Sebab hal ini harus
dirinci terlebih dahulu. Jika yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah
perbuatan (fi’il) mengucapkannya yang hal itu termasuk perbuatan hamba
maka jelas ini adalah makhluk. Karena hamba beserta perbuatannya adalah
makhluk. Namun, apabila yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah ucapan yang
dilafalkan (maf’ul) maka itu adalah kalam/ucapan Allah dan bukan
makhluk. Karena kalam Allah merupakan salah satu sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya
bukan makhluk.
Perincian semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam
Ahmad. Imam Ahmad mengatakan,“Barangsiapa yang berpendapat bahwa lafalku
dalam membaca al-Qur’an adalah makhluk dan yang dia maksud dengannya adalah
al-Qur’an maka dia adalah penganut paham Jahmiyah.”Perkataan Imam
Ahmad ‘dan yang dia maksud adalah al-Qur’an’ menunjukkan bahwa
apabila yang dia maksudkan bukanlah al-Qur’an akan tetapi perbuatan melafalkan
yang ini merupakan perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya tidak bisa
dicap sebagai penganut paham Jahmiyah.
(Diambil dari Fathu Rabbil Bariyyah hal.
70 cet. Dar Ibnul Jauzi).
Fitnah Yang
Menimpa Sang Imam
Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke
Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas
mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan
juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah
kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu
darinya.” Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi
majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika
muncul ‘masalah’ di majelis Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang semula
mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.
Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak
menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga
Allah merahmati mereka berdua. Beliau pernah berpesan kepada
murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah
al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah, pent). Karena seandainya dia
memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi
masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap
Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi’ah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di
Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”
Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya,
bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa
itu merasa hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh
Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu
ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah
melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa
pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an; apakah ia makhluk atau bukan
makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Bukhari berpaling dan tidak
mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada
akhirnya Bukhari menjawab,“al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk.
Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan
pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber masalah
adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu,
dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah
makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan
kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal
itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau
begitu al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang
lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya,
timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin.
Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga
adz-Dzuhli, beliau pun berkata, “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan
makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah
makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah
mubtadi’/ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara
dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu
Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali
orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan
Bukhari ini maka orang-orang pun bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari
kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya
permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan,“Ketahuilah,
barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent-
maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam
Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas imamah/penutup
kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak
meninggalkan beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya
dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran
berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara
kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Muslim
telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya
-Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk
meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari
gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah
Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan
ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri
dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu
saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari-
mengatakan, “Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan bahwa
al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta.
Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.”
Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan
ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata,“Wahai Abu Abdillah, di sana ada
orang-orang yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat
al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari
menjawab,“Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara
penduduk Naisabur dan negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku
berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah
pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah
perbuatan hamba adalah makhluk.”
(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari
Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)
Abdullah anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya
kepada ayahku rahimahullah. Aku berkata, “Apa pendapatmu
mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah makhluk dan lafal kita
dengan al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan al-Qur’an adalah kalamullah dan
bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang seperti ini? Apakah
dia layak disebut sebagai ahli bid’ah?”. Beliau menjawab, “Orang
semacam ini semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid’ah. Dan itu
merupakan perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya
Abdullah bin Ahmad, no. 178). Abdullah juga mengatakan, “Aku mendengar
ayahku rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa lafalku dengan
al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya
Abdullah bin Ahmad, no. 180)
Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari
di dalam kitabnya Jarh wa Ta’dilAbdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata, “Ayahku
-Abu Hatim- dan Abu Zur’ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua
meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi
mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah
mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur’an
adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa at-Ta’dil VII/191).
Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah
membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’.
Beliau berkata, “Apabila mereka berdua meninggalkan haditsnya, ataupun
tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang tsiqah/terpercaya,
kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru dunia.” (lihat Dhawabith
al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633 risalah
magister karya Abu Abdirrahman Muhammad ats-Tsani)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jarh/celaan
dari sebagian ulama yang ditujukan kepada Imam Bukhari tidak bisa diterima.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Setiap orang
yang telah terbukti kuat keadilan/kredibilitasnya maka tidak boleh diterima
tajrih/celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan
kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan yang lain
kecuali memang harus menjatuhkan jarh/celaan kepadanya.” (lihatDhawabith
al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)
Pelajaran
Yang Bisa Dipetik
Kisah di atas mengandung banyak pelajaran berharga
bagi kita kaum muslimin, terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da’i. Pelajaran
terpenting dari kisah ini adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk
mempelajari aqidah Islam dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai
penyimpangan pemahaman dan kesesatan. Karena aqidah inilah yang menjadi
landasan agama kita. Hendaknya setiap muslim memahami hakikat keimanan dan
tauhid yang menjadi intisari aqidah Islam. Jangan sampai seorang
muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da’i- meremehkan masalah aqidah ini.
Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting dan mendasar.
Selain itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran
kepada kita untuk menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di
jalan Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena
ingin mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang
yang berusaha untuk senantiasa mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha
manusia. Orang arab mengatakan, “Ridha manusia adalah cita-cita yang
tak akan pernah tercapai.” Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf
bahwa ikhlas itu adalah melupakan pandangan manusia dengan senantiasa melihat
kepada penilaian al-Khaliq, yaitu Allah.
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk
berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita
yang kita terima tidak benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan
kesalahpahaman bagi orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait
dengan orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama
ataupun penguasa. Kewajiban kita sebagai sesama muslim adalah menjaga
kehormatan dan harga diri saudara kita, apalagi mereka adalah orang yang
memiliki kedudukan dan keutamaan di mata publik.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita
-terutama para da’i dan tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam
berkata-kata. Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena
penggunaan kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa
menimbulkan suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang
tidak pada tempatnya.
Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat
berharga bagi kita, bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang
timbul diantara sesama guru atau da’i itu timbul dan semakin bertambah parah
akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Oleh sebab
itu seorang guru harus objektif dan berhati-hati dalam menerima berita dari
muridnya. Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh sembarangan dalam
menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap ungkapan yang
diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi fitnah (kekacauan),
hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu belajar dan tidak
disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan pembicaraan
yang kurang bermanfaat baginya.
Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita,
bahwasanya pembicaraan jarh wa ta’dil (kritikan dan pujian
terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara sepele. Jarh wa ta’dil tidak
seperti kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga murah oleh siapa
saja. Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat mulia. Ilmu yang
membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kehati-hatian. Tidak semua
orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama
ahli dan mapan di bidang ini. Jarh wa ta’dil juga memiliki
kaidah dan batasan-batasan yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari
kemungkaran adalah suatu kebaikan yang sangat besar. Akan tetapi mengingkari
kemungkaran pun ada kaidahnya, tidak boleh secara serampangan.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para
penimba ilmu dan para da’i untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau
dengki. Karena banyak permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara
penyebabnya adalah karena sifat yang tercela ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan
yang populer di kalangan para ulama Jarh wa Ta’dil : Kalamul
aqraan yuthwa wa laa yurwa, artinya:“Kritikan antara orang-orang yang
sejajar kedudukannya cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak
diriwayatkan.” Karena terkadang kritikan yang muncul diantara sesama
mereka adalah karena faktor hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang
demikian itu.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk
bersikap husnuzhan/berprasangka baik kepada saudara kita. Karena
perasaan su’uzhan/buruk sangka yang tidak dilandasi dengan
fakta-fakta yang kuat adalah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, kisah ini
juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak suka mencari-cari kesalahan
orang lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat,
akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang tidak
kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu tidak
kecil dan tidak sedikit. Allahul musta’aan.
Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya
seorang da’i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di
tengah-tengah perjalanan dakwahnya. Seorang da’i harus senantiasa sabar dan
tawakal kepada Allah dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu
pula seorang penimba ilmu. Bahkan, setiap orang yang beriman pasti mendapatkan
ujian dari Allah yang menuntut mereka untuk bersabar tatkala mendapatkan
musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita
mengenai kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi
fitnah yang menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga
keutuhan umat. Mereka menyadari bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah
mendakwahkan ilmu dan membimbing umat menuju kebaikan. Mereka sama sekali tidak
menyimpan ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target duniawi. Ulama
sejati tidak takut celaan para pencela dan tidak khawatir apabila ditinggalkan
jama’ah, selama dia tegak di atas kebenaran.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita
tentang besarnya bahaya kebid’ahan; yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada
tuntunannya di dalam agama Islam. Bid’ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah
amalan, tetapi ia juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan,
diantara keyakinan yang bid’ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi orang
yang meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat keras dalam
mengingkari para pelaku kebid’ahan. Sebagian diantara mereka mengatakan, “Bid’ah
itu lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih mungkin
untuk bertaubat, sedangkan bid’ah hampir tidak mungkin pelakunya
bertaubat.” Sebab pelaku kebid’ahan menganggap dirinya tidak melakukan
kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih mengakui bahwa dirinya
memang telah berbuat maksiat.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk
bersikap teguh dalam membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus
menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang
memiliki kedudukan di dalam pandangan kita. Sesungguhnya kebenaran itu diukur
dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau ‘allan. Sebagian
ulama salaf berpesan,“Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran. Janganlah
kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah
jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya orang
yang binasa.”
Dan yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran
kepada kita bahwa perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam
sebagian permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai
penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri
sebagaimana mestinya. Ulama adalah pewaris para nabi. Kita harus memuliakan dan
menghormati mereka dengan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain,
kita juga harus ingat bahwa ulama bukanlah nabi yang semua ucapannya harus
diikuti. Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau
bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu
berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah- maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila
sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan bersangka baik dan tetap
menghargai jerih payah mereka. Imam Syafi’i rahimahullahberpesan
kepada para pengikutnya, “Apabila kamu temukan di dalam bukuku sesuatu
yang bertentangan dengan Sunnah/tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tinggalkanlah pendapatku.”
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel Muslim.Or.Id
Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika
penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya
agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan
mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua
farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk
mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa
hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam
Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat
Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa
jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam
dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat
setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kehidupan dan proses pembelajaran dari Imam bukhori yang begitu menginspirasi dalam menuntut ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar